Kepanitian kurban pada saat ini sangat diperlukan dalam rangka efektivitas dan efesiensi pelaksanaan ibadah kurban, dan kedudukannya sebagai orang yang membantu pelaksanaan ibadah kurban dan berbeda kedudukannya dengan amil zakat. Hal ini didasarkan pada beberapa hadis yang menjelaskan pelaksanaan kurban Rasulullah.
“Sungguh Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa Nabiyullah saw memerintahkan agar ia melaksanakan kurban Nabi dan memerintahkan pula agar ia membagikan semuanya dagingnya, kulitnya dan pakaiannya pada orang-orang miskin dan beliaupun agar tidak memberikan sedikitpun dari hewan kurban dalam pekerjaan jagal.” (HR. Muslim).
Baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadis tidak ada satupun yang menjelaskan adanya orang yang ditugasi untuk menjadi pengurus dalam pelaksanaan kurban (panitia kurban). Kendatipun demikian, untuk kelancaran (efektifitas dan efesiensi) pelaksanaan kurban dipandang perlung adanya semacam kepanitian.
Kalimat “yaquumu ‘ala” yang terdapat dalam kedua hadis di atas mengandung arti “membantu”. Dari kedua hadis tersebut dapat dipahami bahwa Ali diminta oleh Nabi saw agar ia membantu Nabi dalam pelaksanaan kurban dan pembagiannya. Dengan demikian, tugas dari panitia kurban adalah membantu shahibul kurban dan memudahkan penyelenggaraan kurban.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan bahwa panitia tidak boleh mengambilkan upah penyembelih dari hewan kurban, namun dapat membebankan kepada shahibul kurban dengan cara musyawarah atau mengambil dari sumber lain. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ali sebagai berikut:
“Ali Ra. ia berkata; Rasulullah saw. telah memerintahkan kepadaku agar membantu dalam pelaksanaan kurban untanya dan agar membagikan kulit dan pakaiannya dan beliaupun memerintahkan kepadaku agar aku tidak memberikan sedikitpun dari hewan kurban kepada jagal. Ia (Ali) berkata: Kami memberikan upah (jagal) dari harta kami.” (HR. Abu Dawud).