Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Mulanya, Islam hadir pada kondisi sosial yang penuh dengan ketimpangan. Perbudakan, penindasan terhadap perempuan, anak yatim yang ditelantarkan, dan perlakuan yang manusiawi. Islam merespon berbagai ketimpangan tersebut dengan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan tatanan sosial yang setara dan memanusiakan manusia.
Pada saat ini, salah satu kelompok yang termarjinalkan ialah penyandang disabilitas. Diskriminasi dilakukan dengan menganggap mereka tidak berdaya, hak dan aksesibilitas tidak dipenuhi, tidak diberi kesempatan pada ruang publik, hingga kekerasan masih sering ditujukan kepada penyandang disabilitas. Berbagai perlakuan tersebut merupakan tindakan jahiliyah masa pra-Islam karena serupa dengan perlakuan masyarakat yang melakukan penindasan kepada sesama manusia.
Agama Islam hadir tidak hanya mengajarkan tentang ibadah secara ritual penyembahan kepada Allah. Melalui firman Allah dalam Al-Qur’an dan keteladanan Nabi Muhammad telah tegaslah bahwa Islam menjunjung tinggi keadilan termasuk bagi penyandang disabilitas. Surat ‘Abasa yang turun sebagai pengingat Nabi Muhammad untuk memperhatikan sahabat disabilitas netra menjadi salah satu bentuk perintah Allah untuk memandang setara sekaligus memberikan akses bagi penyandang disabilitas. Bahkan sahabat disabilitas netra bernama Abdullah bin Ummi Maktum tersebut berperan aktif di publik dengan menjadi muazin. Selain itu, Nabi Muhammad juga mendukung aspek kehidupan bagi seorang Yahudi tua disabilitas netra.
Surat An-Nur ayat 61 menjadi dasar ajaran inklusivitas dalam Islam yang menegaskan bahwa tidak ada hambatan untuk berbagai kondisi manusia baik disabilitas maupun non-disabilitas untuk bersama-sama dalam melakukan kegiatan dan berperan aktif dalam kehidupan. Melalui ayat tersebut, sebagai bentuk untuk mendukung terwujudnya aksesibilitas dalam aspek kehidupan guna mendukung seluruh manusia termasuk penyandang disabilitas untuk dapat terlibat aktif di masyarakat
Sebagai organisasi Islam, Muhammadiyah telah dan terus melakukan upaya untuk menjalankan amanah agama sekaligus negara dalam mewujudkan keadilan serta kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Pada aspek hukum Islam, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid telah merumuskan Fikih Difabel. Hal tersebut sebagai bukti upaya dalam memberikan pemenuhan hak dan akses keagamaan yang inklusif.
Berbagai program pemberdayaan telah dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai bentuk kesungguhan dalam pemenuhan hak, aksesibilitas, dan keadilan bagi penyandang disabilitas. Pada wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diadakan kegiatan Kajian Inklusi setiap Minggu Wage yang diikuti oleh jamaah disabilitas dari berbagai daerah di DIY dengan sebagian besar merupakan anggota Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (HIDIMU). Kegiatan yang dilaksanakan atas kerjasama PWM DIY, MPKS PWM DIY, LAZISMU DIY, dan HIDIMU tersebut menjadi salah satu upaya untuk memberikan akses keagamaan dan pendidikan. Kegiatan serupa juga dilakukan setiap hari Minggu berupa kegiatan pengajaran Al-Qur’an isyarat dan braille bagi penyandang disabilitas Tuli dan Netra.
Program pemberdayaan lainnya juga diinisiasi oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah yang baru saja me-launching Peternakan Ayam Petelur Sehat “TelurMoe”. Program yang dilaksanakan oleh kelompok JATAM Difabel Bejen merupakan bentuk pemberdayaan bagi kelompok dampingan MPM PP Muhammadiyah.
Sejalan dengan spirit keadilan dan kemajuan dalam ajaran Islam, berbagai bentuk program pemberdayaan bagi penyandang disabilitas merupakan upaya dalam memberikan pemenuhan hak, aksesibilitas, dan meningkatkan keterlibatan secara aktif bagi penyandang disabilitas sehingga mewujudkan lingkungan inklusif dan berkeadilan. Penyandang disabilitas tidak butuh dikasihani atas kondisi yang dialami, tetapi yang dibutuhkan ialah pemenuhan hak yang setara dalam berbagai aspek kehidupan.
Baca berita dan artikel lainnya di LAZISMU DIY