هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ۖ لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ
يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya “Dialah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. An-Nahl [16]: 10-11)
Sedikitnya 110 (seratus sepuluh) Desa dari 39 (tiga puluh sembilan) Kecamatan yang tersebar di 4 (empat) kabupaten terdampak oleh kekeringan di D.I. Yogyakarta. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang terdampak menjual ternaknya hanya untuk mendapatkan air bersih, mengais air bersih dari bocoran pipa PDAM yang melintas di desanya, rela mengantri berjam-jam untuk mendapatkan air bersih bantuan dari pemerintah atau masyarakat luar.
Padahal air adalah sumber kehidupan, dan kita tahu bahwa akibat langsung dari tidak tercukupinya kebutuhan air ini bisa menyebabkan gagal bercocok tanam, gagal panen yang berakibat terganggunya persediaan bahan pangan, sanitasi yang buruk dan kelaparan yang berdampak munculnya penyakit akibat kurang pangan dan bahkan kedepan tidak tertutup kemungkinan berakibat pada gizi buruk. Untungnya pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak lain berkomitmen untuk mengamankan kebutuhan air di daerah yang terdampak kekeringan hingga musim penghujan datang.
Menurut data dan informasi dari kepala Badan Meteorologi, dan Geofisika Yogyakarta, di antara penyebabnya adalah menurunnya kadar muka air tanah atau menurunnya kualitas air tanah yang tentu tidak terlepas dari tata ruang dan wilayah, ditambah dengan berkurangnya curah hujan dari keadaaan normal dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan mayoritas daerah di D.I. Yogtyakarta kemarau sejak 7 (tujuh) bulan terakhir (Mei – November) dan dipenuhi dengan titik merah yang artinya mengalami kekeringan ekstrem.
Habis gelap terbitlah terang, kurang lebih tujuh bulan menunggu alhamdulillah awal Desember hujan sudah mulai turun, meski intensitasnya masih terbatas pada daerah tertentu dan belum merata diseluruh wilayah. Biasanya kalau sudah mamasuki musim hujan, D.I. Yogyakarta juga mulai waspada kelebihan air (waspada banjir), karena semakin baik pembuangan air (drainase) dari daerah ketinggian seperti Sleman akan semakin tinggi resiko banjir di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan bahkan tak tertutup kemugkinan di Kulon Progo. Contoh lain seperti yang terjadi di ibu kota Jakarta, langganan banjir kiriman dari Bogor hampir tiap tahunnya. Kekurangan air dan kelebihan air memang menjadi momok tersendiri di kehidupan manusia, tidak heran jika muncul pertanyaan, air hujan itu nikmat ataukah ujian, berkah atau musibah dari Tuhan?
Hujan adalah Berkah, bukan Musibah
Jawaban dari petanyaan di atas sudah kita yakini dan tidak diragukan lagi bahwa air hujan itu adalah berkah yang diturunkan oleh Allah swt dari langit sebagaimana dalam firmannya: “dan kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf [50] : 9). Tentu dengan adanya air hujan, tumbuh-tumbuhan akan kembali hijau dan subur, hewan-hewan bisa mendapat makanan dan minuman yang cukup, manusia juga dapat memenuhi kebutuhan dan melakukan aktivitas tanpa terganggu. Maka sesungguhnya dengan air hujan itu, cara Allah swt memenuhi kebutuhan makhluk-Nya untuk melanjutkan hidupnya (QS. Al-Anbiya’ [21] : 30).
Keberkahan lain dari air hujan juga dapat sebagai obat yang sumper ampuh, yang dijelaskan dalam hadis berikut: “… Rasulullah saw bersabda, sesungguhnya malaikat jibril telah menyatakan kepadaku: Barang siapa yang meminum air ini niscaya Allah akan menghilangkan semua penyakit yang ada dalam tubuhnya dan menyembuhkan dari segala penyakit yang ada.” Yang dimaksud air hujan di atas, tentulah air hujan yang turun langsung dari langit tidak melalui perantara seperti genteng, seng, logam, daun atau apapun yang memungkinkan air hujan menjadi kotor dan tercemar. Bagi anak-anak, hujan merupakan sarana untuk bermain, mereka bersuka-cita menyambut datangnya hujan. Uniknya ada pula sebagian yang meyakini air hujan bagus buat kesehatan, memanfaatkan turunnya air hujan melakukan terapi.
Air hujan merupakan air yang paling baik kualitasnya dan paling banyak kwantitasnya untuk digunakan sebagai sumber kehidupan bagi tanaman, hewan, dan bahkan manusia. Maka, tidak heran pula air hujan ini cukup banyak disebutkan dalam al-Qur’an. Bahkan, banyak ilmuan dan peneliti yang menyimpulkan bahwa air hujan dapat dijadikan pupuk, contoh terdekat adalah adanya Sekolah Air Hujan di Sleman, di mana air hujan diolah menjadi air yang layak konsumsi, air hujan disulap menjadi pupuk dan pestisida alami, sehingga menghasilkan buah-buahan yang lebih sehat.
Air Suci dan Mensucikan
Dalam siklus air, semua air permukaan dimurnikan oleh proses penguapan yang kemudian membentuk awan, terkondensasi dan turun sebagai hujan. Harusnya tidak ada perdebatan, bahwa air hujan adalah air yang paling bersih dan paling murni. Paling bersih dalam artian, bebas mikroorganisme pathogen; paling murni dalam artian bebas partikel terlarut. Di dalam fikih, air hujan disebut dengan jenis air yang mutlak, air yang suci dan mensucikan, artinya zat air tesebut zuci dan dapat digunakan untuk bersuci seperti mandi, berwudhu, minum dan lain-lain sebagainya. Allah swt berfirman, “Dan Dia menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dari hujan itu.” (QS. Al-Anfal [8] : 11).
Memanen Air Hujan
Ayat-ayat di atas menjelaskan berbagai nikmat yang Allah swt anugerahkan kepada manusia. Dia-lah yang telah menurunkan air hujan dari langit yang penuh berkah, untuk dimanfaatkan dan memenuhi kebutuhan hidup mahkluk-Nya. Namun, catatannya apakah semua manusia mau dan mampu memanfaatkan air hujan tersebut? atau hanya membangun drainase dan membuang air hujan tersebut ke sungai kemudian mengalirkannya dari hulu ke hilir hingga kelaut, bahkan tak jarang terjadi banjir akibat luapan sungai.
Atau mulai hari ini, dengan sadar dan ikhlas mau memanen air hujan, yaitu kegiatan menampung, mengumpulkan dan menyimpan air hujan untuk dimanfaatkan ketika kemarau datang. Memanen air hujan merupakan alternative sumber air yang sudah dipraktekkan selama berabad-abad di berbagai negara yang sering mengalami kekurangan air. Air hujan yang dipanen dapat digunakan untuk multi tujuan seperti menyiram tanaman, mencuci, mandi dan bahkan dapat digunakan untuk memasak jika kualitas air tersebut memenuhi standar kesehatan.
Untuk memenuhi permintaan air yang persediaannya semakin terbatas, diperlukan upaya konservasi air. Memanen air hujan merupakan salah satu metode konservasi air yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rumah tangga. Upaya konservasi air memerlukan komitmen dari semua pihak terhadap isu keberlanjutan air. Apabila memanen air hujan dipraktekkan secara berkesinambungan akan dapat membantu dan memelihara keberlanjutan air dan keberlanjutan lingkungan sebagai pendukung peri-kehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
Oleh:
Eka Yuhendri, S.H.I., M.H.
Wakil Sekretaris Lazismu D.I. Yogyakarta
baca juga: lazismu raih opini WTP atas laporan keuangan 2018