Bagi sebagian warga Muhammadiyah, mungkin saat ini Lazismu dianggap ‘hanya’ sebagai lembaga amil ‘biasa’ yang tidak berbeda dengan pengumpul dan pengelola zakat infak dan shadaqah (ZIS) lainnya. Sebagai Amil, memang Lazismu bertugas mengumpulkan, mengelola dan mendayagunakan dana zakat, infak, dan sadaqah dari warga masyarakat, termasuk dari simpatisan dan warga Muhammadiyah. Padahal, bila dicermati lebih jauh dan tentu saja lebih bijak, terdapat banyak hal yang dapat diperoleh manfaat oleh warga Muhammadiyah ketika mereka menunaikan ZIS nya melalui Lazismu. Secara khusus, manfaat itu dapat diperoleh ketika kita mengaitkan Lazismu dengan dua hal, yaitu pajak dan amal usaha Muhammadiyah (AUM).
Sebagaimana kita ketahui bersama, regulasi tentang zakat dan pajak di Indonesia terus berkembang. Di luar perdebatan konseptual apakah Muslim yang telah menunaikan pajaknya harus membayar zakat lagi, atau aspek manakah yang harus ‘dipotong’ terlebih dahulu dari penghasilan seseorang, zakat atau pajak, sebetulnya warga Muhammadiyah perlu melihat aspek lainnya secara lebih strategis. Aspek strategis itu adalah bagaimana mengoptimalkan zakat melalui Lazismu dan implikasinya pada pengurangan penghasilan kena pajak bagi pegawai AUM. Saya yakin, sebagai warga negara yang baik dan Muslim yang taat, warga Muhammadiyah dan pegawai AUM membayar pajak dan zakat sesuai ketentuan yang berlaku.
Bagi warga masyarakat yang menunaikan kewajiban laporan pajak, bukan Maret kemarin adalah bulan dimana banyak orang sibuk mengisi SPT Tahunan. Jelas, bagi warga negara yang baik dan melakukan sendiri laporannya, warga Muhammadiyah akan sadar bahwa terdapat satu item yang dapat mengurangi penghasilan kena pajaknya, yaitu zakat. Saya belum punya angka berapa banyak warga Muhammadiyah yang telah memanfaatkan pengisian item zakat untuk mengurangi penghasilan kena pajak mereka, dan berapa pula estimasi angka yang dapat diakumulasi dari keseluruhan warga Muhammadiyah yang menjadi pegawai dan harus membayar pajak. Faktanya, masih banyak Amal Usaha Muhammadiyah yang masih belum melirik masalah ini sebagai masalah penting. Padahal ketentuan ini berlaku sudah lama. Pasal UU 38/1999 yang diperkuat dengan Pasal 22 UU 23/2011 tentang Zakat dan juga UU No. 17/2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sudah mengatur masalah ini. Intinya zakat bisa mengurangi penghasilan kena pajak.
Muhammadiyah memiliki banyak Amal usaha, mulai sekolah, perguruan tinggi, klinik dan rumah sakit, dan bahkan lembaga keuangan. Ada puluhan ribu guru, dokter, perawat dan pegawai yang bekerja dalam AUM, yang tentunya mereka membayar pajak penghasilan (PPh) dan juga zakat/infak sebesar 2.5%. Untuk dapat memanfaatkan skema pengurangan penghasilan kena pajak, seorang pembayar zakat harus melampirkan Bukti Setor Pajak, baik itu dilakukan secara pribadi, dan apalagi secara kolektif. Lazismu adalah lembaga amil zakat nasional yg sudah mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah.
Dalam praktiknya, banyak AUM yang sudah memotong gaji pegawainya untuk zakat/infak wajib. Lalu kemana dana potongan itu disetorkan, dan apakah sudah dimanfaatkan oleh AUM untuk mengurangi penghasilan kena pajak? Bila melihatnya secara pribadi-pribadi, mungkin saja warga Muhammadiyah bisa mengabaikan skema relasi pajak dan zakat ini dalam AUM. Tetapi bila berfikir kolektif, sebetulnya hasilnya lumayan mencengangkan.
Misalnya sebuah Amal Usaha Muhammadiyah yang besar, seperti Perguruan Tinggi, punya pegawai sebanyak 1000 orang (dosen, pegawai tendik, dan karyawan lainnya) yang setiap bulan gajinya kena potong zakat/infak sebesar 2.5%. Katakanlah setiap tahun seorang pegawai kena potong 2-3 juta rupiah untuk zakatnya/pertahun (silahkan untuk para pegawai AUM cek lagi slip gajinya, berapa potongan zakat perbulan). Jadi, bila 1000 pegawai dikalikan 2-3 juta, maka jumlahnya antara 2-3 milyar pertahun? Itu baru satu AUM. Sementara ini, Muhammadiyah memiliki ratusan perguruan tinggi, klinik dan rumah sakit. Bila di suatu provinsi ada beberapa perguruan tinggi, sekian rumah sakit dan belasan sekolah saja, sebut saja provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah atau Jawa Barat maka saya kira, sekurang-kurangnya ada 10-an milyar yang bisa di kurangkan untuk SPT Tahunan secara kolektif. Tinggal hitung ada berapa provinsi yang AUM nya cukup kuat. Tentu, itupun bisa dilakukan bila keberadaan Lazismu sebagai Laznas resmi dapat dimanfaatkan. Dana yang di “saving” dari bayar pajakpun bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan yang lain.
Daripada AUM saat ini menggunakan numenklatur yang bermacam-macam untuk pengelola zakat pegawainya, kenapa gak ganti saja numenklaturnya dan diintegrasikan dengan Lazismu. Selain resmi sesuai undang-undang, Lazismu juga memberikan manfaat kolektif tambahan bagi AUM. Masalah dananya, silahkan dikelola sesuai dengan tradisinya masing-masing di dalam AUM, meskipun tetap harus berani untuk lebih terbuka dan melakukan perubahan agar lebih akuntable, dan pegawainya lebih diringankan dengan bayaran pajak dan zakatnya. Gak terlalu sulitkan? Asal punya niat kolektif, Insya Allah kita bisa melakukannya.
Hilman Latief (Ketua Badan Pengurus Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah)